Indonesia Di Hulu Industri Manufaktur
Ricky Virona Martono
Dosen PPM School of Management
Selama periode 2015-2019, Toyota berkomitmen menambah investasinya sebesar Rp20 triliun[1]. Sampai dengan 2016 saja, realisasi investasi sudah sebesar Rp10 triliun[2]. Hal ini menunjukkan komitmen Toyota untuk meningkatkan kapasitas produksinya di Indonesia menjadi sebanyak 250.000 unit di tahun 2016 dari 110.000 unit di 2013. Setengah dari produksi ini diekspor ke mancanegara.
Dampak efek berantai (multiplier effect) dari investasi adalah menggiatkan aktivitas ekonomi masyarakat, seperti: perusahaan-perusahaan supplier pabrik Toyota ikut meningkat produksinya, usaha garmen untuk memproduksi pakaian kerja karyawan, usaha katering untuk menyediakan makan siang karyawan, perusahaan asuransi karyawan dan mobil, pedagang kaki lima dan ojek di sekitar pabrik, sampai usaha pemondokan di sekitar pabrik.
Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal[3] menunjukkan bahwa Penanaman Modal Asing di Indonesia mampu memberi efek berantai (multiplier effect) bagi penciptaan tenaga kerja tak langsung sekitar empat kali lipat.
Di sisi lain, sebaiknya kita menanggapi berita mengenai potensi pertumbuhan ekonomi ini dengan lebih bijaksana. Pertama, sebenarnya Toyota sendirilah yang merancang desain teknologi untuk pabriknya, orang Indonesia hanya mengerjakan desain tersebut apa adanya. Memang sebuah negara maju seringkali dimulai dengan industri manufakturnya yang sudah kuat, kemudian secara perlahan merambah ke industri jasa.
Contohnya adalah Jepang, Amerika, Inggris, dan Jerman. Tapi kita di Indonesia hanya berperan sebagai tukang yang menjalankan pabrik Toyota. Jangan berasumsi investasi besar-besaran dari Toyota akan dengan sendirinya membuat manufaktur Indonesia menjadi mandiri dengan sendirinya.
Kedua, semua fasilitas dan sistem industri manufaktur yang diekspor ke luar negeri tetap saja menggunakan otak dari negeri asal manufaktur tersebut. Mereka membuat inovasi yang menjamin bahwa barang jadi bisa diproduksi di negara manapun, tanpa menggunakan tenaga kerja mereka sendiri, kemudian menjual barang jadi kepada banyak negara. Jelas sebagian besar keuntungan yang diperoleh perusahaan akan dikirim kembali ke negara asalnya sebagai bentuk penghargaan terhadap inovasinya. Belum lagi keuntungan dari anak perusahaan Toyota.
Negara dimana produksi dilaksanakan menerima bagian yang cukup untuk memakmurkan karyawannya. Tapi, keuntungan tetap lebih besar dinikmati Toyota, bukan Indonesia.
Dengan modal yang besar, tentunya alokasi dana untuk riset dan pengembangan di Toyota semakin besar. Masalahnya, kemampuan desain dan riset Toyota belum tentu akan di-sharing kepada Indonesia karena kemampuan inilah yang menjadi inti kekuatan Toyota. Sekali lagi, Indonesia hanya mengerjakan sistem manufaktur yang sudah mantap dan bukan sebagai desainer dari sistem produksinya.
Ketiga, mengapa Toyota merelokasi industrinya ke luar negeri –dalam hal ini Indonesia? Salah satu penyebabnya adalah murahnya biaya tenaga kerja sehingga dapat menekan biaya produksi. Juga alasan nilai tukar mata uang. Jika dua orang mengerjakan hal yang sama di dua negara yang berbeda, maka sebenarnya mereka yang menjual barang dari negara dengan mata uang yang lebih lemah akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
“Mata uang Yen yang lebih kuat dari mata uang Indonesia dan negara berkembang lainnya, menyebabkan barang yang diproduksi di Indonesia akan memberi value lebih tinggi.” Di sisi lain, tentunya Toyota sudah mempertimbangkan kualitas hasil produksi di Indonesia dan faktor-faktor lain yang memengaruhi bisnis mereka di Indonesia.
Keempat, sebuah usaha bisnis harus mampu melayani masyarakat di mana mereka beroperasi dalam bentuk program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan. Dengan kehadiran Toyota yang lebih intens, kita harus mampu memanfaatkan program-program CSR mereka. Kalau perlu, kita menuntut relokasi inovasi!
Memang kandungan lokal produk Toyota nantinya bakal mencapai 75%. Memang produksi di negara-negara ASEAN juga ditingkatkan supaya antar negara bisa saling menukar produk dan mencapai skala ekonomis. Tapi, apakah artinya itu semua jika akhirnya keuntungan lebih banyak dinikmati Jepang dan inovasi tidak kita kuasai?
Bukankah artinya semua ini adalah Toyota menikmati benar keuntungan dari menempatkan basis di produksi ASEAN?
Jika industri manufaktur Indonesia banyak yang seperti ini, maka masyarakat Indonesia sebenarnya masih menjadi tamu di negeri sendiri. Maka jangan kita terlena begitu saja dengan tingkat investasi yang meningkat, apakah ini menguntungkan bagi Indonesia sendiri dalam jangka panjang?
Kita berharap industri mobil Esemka bisa menjadi langkah awal menuju kemandirian di bidang manufaktur. Sudah saatnya kita tidak hanya memikirkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi secara garis besar juga menikmati keuntungan besar dari industri manufaktur. Kemudian, kita perlu membangun sistem yang mampu mendorong masyarakat berinovasi dan berproduksi sendiri, bahkan suatu saat banyak dari masyarakat kita juga mampu membangun pabrik di luar negeri.
Tentunya kehadiran industri asing juga mendorong kita untuk mulai berpikir mandiri. Misalnya, seseorang yang bekerja terus-menerus membuat sebuah meja, maka seharusnya orang itulah yang bertambah kemampuannya dan menjadi yang paling tahu bagaimana membuat meja, bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang timbul, bahkan dari pengalamannya sendiri tahu bagaimana memodifikasi dan membuat meja sendiri.
Masyarakat Indonesia yang bekerja untuk Toyota (dan perusahaan multinasional lainnya) harus dapat diibaratkan sebagai orang yang membuat meja tersebut, sebagai modal mengembangkan industri manufakturnya sendiri.
*Tulisan ini dimuat di Majalah BUMN Track No. 127 Tahun XI Agustus 2018, p. 22-23
_____________________________________________________________
[2] https://www.antaranews.com/berita/581260/toyota-lanjutkan-rencana-besar-investasi-di-indonesia
[3] http://m.bareksa.com/id/text/2015/08/07/inilah-100-proyek-investasi-asing-di-indonesia-senilai-rp80-triliun/11144/analysis