Aries Heru Prasetyo, Ph.D
Core Faculty PPM SoM

Sejak awal Januari, rupiah telah melemah hingga lebih dari 5.7%. Angka ini merupakan yang terburuk sejak krisis moneter melanda Tanah Air di medio tahun 1997-1998 lalu. Para analis umumnya memosisikan krisis moneter yang terjadi di beberapa negara, seperti Argentina dan Turki sebagai salah satu penyebab rontoknya perekonomian dunia. Belum lagi ditambah dengan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina.

Alih-alih memproteksi kepentingan ekonomi domestik, aksi kedua negara adikuasa tersebut berdampak cukup signifikan pada berpulangnya dolar AS ke negara asalnya. Aksi otoritas keuangan setempat dengan menaikkan suku bunga secara otomatis membuat sirkulasi dolar AS di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia, terganggu.

Para investor cenderung memanfaatkan kebijakan tersebut dengan penarikan dana dalam denominasi dolar AS secara besar-besaran. Alhasil, mata uang domestik pun kini keok di level Rp14.800 yang secara psikologis menyiratkan adanya kemungkinan untuk masuk ke level Rp15.000 bahkan lebih.

Bank Indonesia (BI) tidak tinggal diam. Serial intervensi pun tengah giat dilakukan. Namun patut dipahami bahwa aksi melemahnya nilai tukar rupiah kali ini bersamaan dengan jadwal pelunasan utang pemerintah yang konon nilainya menjadi berlipat ganda. Realitas inilah yang membuat penguatan rupiah menjadi sedikit terkendala. Lalu apa saja hal yang dapat kita lakukan agar tercipta tren penguatan tersebut?

Dalam jangka menengah dan panjang, aksi ini dapat diredam dengan beralihnya orientasi produksi nasional ke material dan alat-alat produksi lokal. Dewasa ini sudah menjadi rahasia umum bahwa angka ketergantungan industri domestik pada bahan baku serta teknologi impor masih cukup tinggi.

Itulah mengapa angka ekspor di sejumlah sektor juga belum mampu bergerak naik. Menguatnya nilai tukar dolar AS telah membuat biaya faktor produksi meningkat sehingga kenaikan harga jual produk tak terelakkan lagi. Di saat yang bersamaan, kita juga bersaing dengan pemain-pemain dari kawasan Asia Tenggara. Lagi-lagi faktor harga diyakini membuat peta kekuatan daya saing kita menjadi sedikit kabur.

Pergeseran orientasi ke material lokal memang tak semudah yang dibayangkan. Namun kiranya patut menjadi bahan kajian lebih lanjut. Dalam jangka pendek, pola pengembangan material lokal sebagai bahan baku utama proses produksi dapat dilakukan melalui intensifikasi sinergi antara proses pengkajian dari sektor pendidikan tinggi, kalangan swasta sebagai calon pengguna hasil-hasil riset, serta perbankan sebagai penyandang dana. Pola inilah yang membuat Tiongkok mampu bangkit dengan kekuatan ekonomi domestiknya di awal 2000-an.

Hingga medio tahun ini, ada banyak hasil inovasi karya putra-putri bangsa dari pelbagai bidang, tetapi sangat minim dari sisi komersialisme. Akhirnya, hasil kajian dan penelitian masih berada pada fase riset ilmiah dan belum mampu menyentuh dimensi pemanfaatan ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat.

Realitas itulah yang hendaknya menjadi kajian bersama. Sedikit melirik pada perhelatan akbar Asian Games yang baru saja berlalu, tampak jelas bagaimana kekuatan inovasi segenap anak bangsa, khususnya di sektor kreatif. Tak terhitung jumlah apresiasi yang disampaikan oleh para atlet, tim resmi hingga suporter dari negara-negara anggota.

Artinya, kita perlu menyiapkan rangkaian strategi agar daya kreasi tersebut mampu menjelma menjadi salah satu daya saing bangsa di masa depan. Tujuannya pun jelas, yakni bagaimana sektor ini dapat bertumbuh menjadi daya saing inti yang menciptakan nilai tambah di setiap produk ekspor. Dengan cara ini, kita dapat berkontribusi menuju aksi bersama dalam memperkuat nilai tukar rupiah.

Kekuatan inovasi anak bangsa memiliki potensi menjadi satu komoditas ekspor jasa di masa depan. Ketika negara-negara lain mulai menunjukkan daya tariknya akan keahlian di bidang inovasi ini, di situlah impian penguatan rupiah dapat diciptakan.

Siapkah kita untuk turut andil di dalam aksi tersebut? Selamat berefleksi, sukses senantiasa menyertai Anda!

*Tulisan ini dimuat di Majalah Sindo Weekly No. 29 tahun VII, 17-23 September 2018, p.7