Sensitivitas Warganet pada Tahun Politik
Yanuar Andrianto, M.M
Head of Expertise Group Finance PPM Manajemen
Masih basah di ingatan, pertengahan Februari lalu media sosial dihebohkan tagar #UninstallBukalapak oleh warganet yang menjadi trending topik di jagat Twitter. Pemicunya sederhana, cuitan pribadi Achmad Zaky, salah satu founder dan CEO Bukalapak, mengenai rendahnya kesiapan Indonesia terhadap revolusi industri 4.0. Komentarnya tentang perhatian dari Pemerintah Indonesia terhadap penelitian dan pengembangan (research and development / R & D) yang masih jauh tertinggal di Asia dalam menghadapi era baru perubahan yang identik dengan kompleksitas pertarungan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memantik perdebatan kusir.
Cuitannya bisa jadi dipersepsikan positif atau biasa saja apabila tidak dituliskan pada tahun politik. Dalam praktiknya, R & D terbukti dapat mendorong organisasi atau perusahaan suatu negara untuk berinovasi dalam menciptakan produk baru di pasar dan meningkatkan produktivitas sehingga mampu menjaga daya saing sekaligus meningkatkan pertumbuhan (Castello & Grassano, 2014).
Informasi dari sebuah fakta memang dapat menjadi lebih sensitif pada tahun politik sehingga menimbulkan persepsi yang beragam. Perbedaan persepsi inilah yang dapat menjadikan suatu rumor yang berkembang meniadakan konteks suatu informasi. Kepekaan ini harus diperhatikan oleh perusahaan dan/atau manajemen puncak dalam memberikan pendapat pribadi serta perusahaan ke publik agar tidak menganggu reputasi perusahaan.
Media sosial memiliki karakteristik kecepatan menggiring suatu informasi menjadi viral di dunia maya. Warganet dengan mudahnya berpikir dan bertindak irasional dalam mengakses suatu informasi. Kecenderungan perilaku yang muncul adalah anchoring dan herding atas rumor yang beredar di jagat maya.
Anchoring terjadi ketika perilaku warganet yang didasarkan pada suatu informasi awal yang beredar di media sosial tanpa mempetimbangkan keakuratan sumber dan/atau konteks informasi. Bias ini menciptakan sudut padang berbeda atas suatu informasi.
Perilaku warganet lainnya adalah herding, yakni ketika warganet berperilaku sangat bergantung dan mengikuti pendapat dari warganet yang lain ataupun influencer. Herding dapat menimbulkan penyimpangan emosi sehingga menyebabkan perilaku irasional. Seorang influencer dapat memengaruhi dan mendorong dengan cepat para pengikutnya (follower) untuk mengikuti tindakannya dalam media sosial.
Sebagai contoh, penyanyi Rihanna dengan sekitar 61 juta follower di Instagram menuliskan kemarahannya atas aplikasi Snapchat yang menampilkan iklan permainan mengandung unsur kekerasan tentang Rihanna. Hal ini menimbulkan kemarahan bagi para pengikutnya dengan mengancam menghapus aplikasi Snapchat dan berdampak langsung pada penurunan nilai saham perusahaan sekitar Rp11 triliun.
Pesatnya pertumbuhan pengguna media sosial tidak hanya memberikan imbas positif bagi perusahaan. Namun, itu juga dapat memberikan konsekuensi risiko peredaran arus informasi yang begitu masif dan dapat memberikan sentimen pada citra perusahaan.
Momentum ini bisa menjadi momen uji kerentanan praktik tata kelola perusahaan pada era digital. Perusahaan harus menyesuaikan rancangan secara terperinci mengenai perangkat sistem aturan, kebijakan, dan pengendalian bisnis sesuai dengan pedoman tata kelola perusahaan (corporate governance) di era digital.
Warganet sebagai salah satu pemangku kepentingan yang dapat membentuk opini tentang organisasi di dunia maya. Media sosial dapat meniadakan aspek privasi seseorang sehingga pendapat atau perilaku pribadi dapat dengan mudahnya dipersepsikan mewakili sikap organisasi.
Tata kelola perusahaan bisa menjadi penyeimbang kepentingan seluruh pemangku kepentingan sehingga seluruh aktivitas manajemen dan perusahaan dapat terawasi serta dikendalikan guna tercapainya tujuan perusahaan. Hal ini penting bagi perusahaan agar dapat memastikan bahwa risiko yang muncul dari opini warganet dapat dikelola dan dikendalikan oleh perusahaan.
Baca juga: Nostalgia Teknologi Retro
Sebuah informasi yang beredar melalui media sosial dapat diabaikan atau ditanggapi oleh perusahaan tergantung dengan konsekuensi risiko pada suatu informasi bagi perusahaan. Hal terpenting bagi perusahaan adalah memiliki suatu mekanisme yang transparan, akuntabel, serta menyeluruh dalam mendukung proses bisnis agar berjalan optimal. Tujuannya tak lain untuk meminimalkan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari munculnya bias persepsi dari media sosial.
Sensitivitas warganet atas suatu informasi pada tahun politik sangat rentan dan dapat menjadi ajang penghakiman bagi suatu organisasi.
There’s so much bullying, and there’s so much negativity on social media.-Chung-
*Tulisan ini dimuat di Majalah Sindoweekly No. 06 Tahun VIII, 8-14 April 2019, hlm. 82